Jumat, 30 September 2011

Pondok Pesantren Masa Kini

PONDOK PESANTREN MASA KINI
Gunung Rajak, 30 September 2011
Semua orang sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sistem ini diperkenalkan ketika Islam mulai masuk di Indonesia. Bahkan keberadaan pesantren yang tetap survive hingga sekarang di tengah arus globalisasi, dan individualisme, yang kian mengental,
pesantren konsisten menyuguhkan kitab kuning dan sistem pendidikan yang oleh sebagian orang dianggap masih tradisional, merupakan keunikan tersendiri yang dimilikinya. Di samping itu Pesantren turut menorehkan sejarah panjang di Indonesia. Keberadaannya kerapkali memberikan andil dalam usaha penyelamatan generasi muda dari ancaman dekadensi moral.
Pada awalnya kehadiran pesantren hanyalah untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pembelajaran agama. Sistem yang digunakan hanya sebatas pengajian yang dilakukan pada malam hari dilanggar atau musholla yang ada. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai banyak yang mempercayakan anak-anak mereka kepada para alim ulama untuk dididik secara intensif. Celah ini dibaca oleh Sunan Ampel yang mulai mengenalkan sistem padepokan dimana santri mulai menetap di tempat guru yang kini dikenal dengan istilah pondokan. Tradisi ini kemudian menjadi budaya masyarakat jawa yang lebih memilih pondok pesantren sebagai ‘sekolah’ anak-anak mereka sebagaimana mereka dititipkan orang tua mereka kepada sang kyai. Salah satu kelebihan dari sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan yang mensistesakan dimensi sosial, budaya dan agama. Sehingga antara kurikulum materi dengan kurikulum kehidupan yang tidak bisa dipisahkan secara pasti, semua berbaur dan mengalir begitu saja. satu keunikan yang dimiliki dalam kehidupan pesantren adalah keterkaitan emosi yang terjalin di pondok tidak sekedar hubungan antara kyai dan murid saja melainkan orang tua dan anak.
Selama ini pesantren dibedakan berdasarkan kyai, jumlah santri, dan jenis kitab-kitab yang diajarkan. dari sinilah pondok pesantren dikalisifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : pesantren tradisional dan pesantren modern. Dikatakan pesantren tradisional karena dilihat dari sistem pengajarannya yang masih menggunakan sistem pesantren-pesantren terdahulu. Pesantren jenis ini relatif mempertahankan tradisi pengajaran nahwu dan fiqih orientied yang tidak memperhitungkan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman. Disamping itu sistem pembagian waktu belajar pada umumnya berpatokan pada waktu sembahyang. Mengapa harus nahwu dan fiqih? Nahwu dipercaya sebagai kunci untuk memahami berbagai jenis ilmu dari kitab-kitab yang ada. Sedangkan fiqih merupakan ilmu yang banyak berhubungan dengan masalah sosial keseharian. pesantren jenis ini pada umumnya memiliki figur kyai yang kharismatik dan menjadi panutan tidak hanya santri itu sendiri melainkan masyarakat sekitar yang tinggal disekitar pesantren tersebut. Jumlah santri yang tinggal di pesantren ini biasanya berjumlah sedikit, namun ciri khas yang terasa adalah sikap keikhlasan, kemandirian dan tirakat yang tertanam erat pada diri kyai dan santri.
Sedangkan pesantren modern adalah pesantren yang mulai menggabungkan sistem pesantren tradisional dengan sistem sekolah formal. Disini pesantren mulai mengadopsi kurikulum umum, bahkan mulai menggunakan bahasa asing selain bahasa arab dalam menyampaikan materi. Pesantren jenis ini mulai menetapkan jenis materi yang sudah disesuaikan dengan tujuan akhir pesantren pada santri. Pesantren modern beranggapan bahwa santri tidak hanya bisa dituntut untuk menguasai ilmu agama saja, melainkan mampu menguasai skill untuk menghadapi perubahan zaman. Sehingga santri sebisa mungkin akrab dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dinilai mampu meningkatkan nilai santri dimata masyarakat. Tidak ada dikotomi lagi antara ilmu agama dan umum, bahkan pesantren pun mulai menerapkan sistem tenggang waktu dan masa pengabdian santri selama tinggal di pesantren tersebut.
Santri sebagai output produk pesantren menjadi penentu kredibilitas sebuah pesantren. Santri diharapkan mampu mentransformasikan ilmu yang diperoleh selama masa belajar kepada masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya. semakin banyak sebuah pesantren mencetak santri yang bisa diterima dan dibutuhkan masyarakat, semakin bersinar pula pesantren tersebut. Sehingga secara tidak langsung keberhasilan itu akan menjadi bukti sekaligus promosi yang beredar di masyarakat. Sehingga tanpa promosi iklan, sebuah pesantren akan terjamin keberlangsungannya.
Biasanya santri yang menetap di pesantren datang dari berbagai daerah yang notabenenya memiliki berbagai macam latar belakang baik ekonomi, bahasa, hingga budaya yang berbeda. Ini yang menjadikan pesantren selain menjadi sekolah agama juga mampu menjadi sekolah sosial bagi santri itu sendiri. Semua latar belakang yang bermacam-macam itu bertemu dalam satu tempat dan waktu yang cukup lama. secara tidak langsung akan terjadi benturan budaya, sehingga menghasilkan sebuah akulturasi dan membentuk gaya hidup santri yang khas dan tidak kita dapatkan di lingkungan manapun diluar pesantren. Bentuk akulturasi ini tidak hanya terjadi secara internal antar santri dengan santri, melainkan santri dengan masyarakat sekitar yang tinggal di dekat pesantren.
Namun disamping terjadi benturan budaya, terjadi pula benturan sosial antara santri dengan latar belakang historis dan sosial. Dalam kehidupan pesantren, baik tradisional maupun modern, para santri mengenal sebutan Gus atau Ning untuk santri keturunan Kyai atau pemilik pesantren di daerah lain. santri yang menyandang sebutan Gus atau Ning memiliki posisi yang cukup disegani oleh santri-santri lainnya karena latar belakang historis. Begitu pula dengan benturan sosial yang lebih condong pada masalah kondisi ekonomi sang santri. santri yang datang dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas punya posisi kedudukan sosial tersendiri dimata santri. Benturan ini bukan karena faktor lingkungan semata, tapi justru muncul dari alam bawah sadar masing-masing santri. Seperti halnya yang dituturkan Clifford Geertz dalam Religion of Java bahwa masyarakat Mojokuto yang dengan sendirinya membagi kelas sosial menjadi tiga bagian, yaitu : abangan, santri dan priyayi. Dibandingkan pesantren tradisional, pesantren modern terutama dengan pesantren dengan santri mayoritas berusia 12-17 tahun dengan kondisi emosional masih labil, lebih banyak terjadi kasus benturan sosial. Hal ini dikarenakan kondisi pesantren modern yang sudah menerapkan tarif biaya hidup santri, maka yang memungkinkan tinggal di pesantren modern adalah mereka yang datang dari keluarga berada.
Benturan sosial ini bisa kita lihat dari perilaku santri mulai dari pola berpakaian, jenis lauk pauk yang mereka makan hingga produk perlatan mandi yang mereka gunakan. Santri yang memiliki persamaan dari ciri-ciri khas yang ditonjolkan ini lambat laun akan membentuk sebuah komunitas kecil dalam cara bergaul dengan sesama santri. Kelompok ini bukanlah sebuah pemisahan yang berdiri sendiri melainkan sebuah bentuk interaksi horisontal santri yang didasari oleh perasaan nyaman dan setara dalam bergaul. Mulai dari yang paling kaya hingga yang paling miskin semua membentuk komunitasnya, dengan sendirinya kelompok-kelompok ini akan membentuk pola bergaul mereka dalam keseharian. biasanya dalam kelompok-kelompok kecil ini selalu terdapat beberapa orang yang menonjol dan beberapa lainnya pengikut(follower) dalam satu kelompok. Orang-orang yang menonjol ini bisa dikatakan mendominasi bahkan trendsetter dalam kelompoknya, apa yang dilakukan oleh trendsetter ini akan diikuti oleh follower.
Seiring dengan perkembangan zaman, ketika teknologi berkembang pesat dan tidak dapat ditolak, pesantren mau tidak mau harus menerima kehadiran teknologi beserta dampak yang ditimbulkan. Respon yang muncul pun beragam, seperti pesantren tradisional yang tidak sedikit menjadikan teknologi sebagai musuh yang harus diantisipasi. Mereka dengan ketat menyeleksi teknologi apa saja yang bisa dikonsumsi oleh santri dan tak jarang memperlakukan teknologi sebagai hal yang harus dihindari, hal ini terjadi karena masih ada diskriminasi ilmu dengan menganggap bahwa pesantren hanya tempat belajar agama dan tidak ada hubungannya dengan perkembangan teknologi maupun globalisasi.
Berbeda dengan pesantren modern yang relatif lebih bisa berkawan dengan perubahan ini. Mereka beranggapan bahwa perkembangan teknologi ini harus bisa diimbangi dengan ilmu agama. Dimana materi agama bisa dipahami secara kontekstual yang mampu mengiringi perubahan zaman. Sehingga hal yang tidak asing lagi bila seorang santri membawa radio, handphone hingga laptop dalam kesehariannya.
Sayangnya globalisasi disamping memicu perkembangan teknologi, disisi lain globalisasi telah menjadi sebuah pemicu terjadinya perubahan nilai sosial dan budaya, termasuk dunia pesantren. Bila sebelumnya benturan yang terjadi masih seputar penampilan dan cara bergaul, kini benturan itu telah masuk ke area teknologi. Perubahan itu telah menjadi dinamika yang terjadi dalam gaya hidup santri masa kini.
Seperti di Jogjakarta, kota yang dikenal sebagai kota pelajar ini juga memiliki banyak pondok pesantren yang berpengaruh. Penulis melakukan pengamatan di 5 komplek yang dianggap mewakili dari masing-masing pesantren yang ada di Krapyak dengan perincian komplek 1,2,3 dan 4 dari pesantren A, komplek 5 dan 6 dari pesantren B. Masing-masing komplek ini memiliki perbedaan yang cukup kontras. Pesantren A, komplek 1 terdiri dari santri putri dengan mayoritas berstatus mahasiswa dari berbagai universitas di Jogjakarta. Komplek 2 terdiri dari santri mahasiswa putra, komplek 3 mayoritas santri putri berstatus pelajar Tsanawiyah(setingkat SMP) dan Aliyah(setingkat SMA). Komplek 4 mayoritas santri putra berstatus pelajar Tsanawiyah dan Aliyah. Sedangkan pesantren B hanya diambil 2 komplek karena sistem pembagian kamar bukan berdasarkan tingkatan pendidikan formal melainkan blok kamar. Dikomplek 5 terdapat 6 blok yang terdiri atas santri putri, di komplek ini baik pelajar tsanawiyah, aliyah dan mahasiswa becampur menjadi satu. Masing-masing kamar memiliki komposisi penghuni yang beragam karena peraturan pembagian kamar hanya berdasarkan quota kamar saja. terakhir komplek 6 yang menjadi tempat tingal bagi santri putra. Kondisinya sama dengan komplek 5 baik dari kondisi tempat maupun sosialnya. Masing-masing komplek ini memiliki persamaan dari segi santri yang memiliki status ganda sebagai pelajar disekolah formal, baik sekolah formal dalam satu yayasan maupun tidak. Mayoritas santri yang tinggal di dua pesantren ini adalah perantauan dari berbagai daerah dengan kondisi perekonomian menengah ke atas. Disamping itu pola bergaul dan gaya hidup santri yang terjadi dikedua tempat ini relatif sama keadaannya, mulai dari cara berpakaian, tempat nongkrong, penggunaan alat elektronik hingga konsumsi jasa laundry. Fenomena maraknya santri yang mulai tergantung dengan kehadiran laundry ini bisa dibuktikan dari jumlah outlet laundry di daerah Krapyak yang mencapai angka empat belas, tiga diantaranya dikelola langsung oleh pengasuh pesantren yang bersangkutan.
Pada awalnya laundry hadir sebagai bisnis sampingan yang mendukung sebuah instansi, lembaga atau bidang usaha lainnya, seperti : rumah sakit, panti kompo, pusat rehabilitas, dan sebagainya. Sifatnya yang eksklusif membuat laundry saat itu hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Kalaupun bersifat kommersil, itu hanya sebatas mitra usaha industrial seperti, pabrik, restoran, hotel dan kantor dimana segmentasi dari usaha ini bukanlah masyarakat secara luas. Namun sejak laundry diperkenalkan dengan sistem yang lebih merakyat, laundry ternyata mampu merebut perhatian masyarakat jogja yang mayoritas adalah orang-orang perantauan.
Banyak pengusaha laundry sepakat bila hampir sebagian besar konsumen mereka adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Namun, hal ini bukan ukuran pasti mengingat para pelajar dan mahasiswa ini memiliki siklus kehadiran yang menyesuaikan kalender akademik masing-masing lembaga pendidikan. Para pengusaha laundry berusaha menembus pasaran nonpelajar namun mereka sama-sama memiliki jam kesibukan yang sama dengan para pelajar, yaitu santri. Apa alasan mereka membidik santri sebagai konsumen jasa laundry?
Pertama, berbeda dengan pelajar dan mahasiswa yang memiliki siklus keberadaan yang menyesuaikan kalender akademik, santri memiliki intensitas keberadaan yang relatif lebih sering. Hal ini dikarenakan kalender akademik mereka berpatokan pada hari-hari besar Islam pada kalender hijriyah. Tidak jarang para pengasuh pesantren memberlakukan jadwal kepulangan dan kedatangan pada santri.
Kedua, pada umumnya santri yang tinggal di pesantren Krapyak memiliki status ganda sebagai pelajar disekolah formal. Hal ini menjadikan mereka memiliki waktu yang relatif lebih sedikit untuk mengurus hal-hal yang bersifat pribadi seperti halnya masak, mencuci, dan menyetrika. Melaundrykan pakaian tentu menjadi sebuah pilihan yang menarik. Bila kita kalkulasikan jika setiap minggu setiap anak rata-rata 5 Kg dengan asumsi 1 Kg terdiri atas 4 potong pakaian, harga standar perkilo yang ditawarkan di daerah Krapyak adalah Rp 3.000,00, maka setiap minggunya ia cukup mengeluarkan uang rata-rata sebesar Rp 15.000,00 untuk mendapatkan pakaian bersih, harum dan rapi dalam waktu yang relatif singkat. Tanpa harus berkutat dengan deterjen, membuang energi dan waktu, ini sebuah alternatif bagi yang menginginkan kepraktisan. Dengan melaundrykan pakaian, mereka menjadi mempunyai lebih banyak waktu kosong yang bisa mereka pergunakan untuk mengikuti kegiatan intra-ekstrakulikuler pesantren maupun sekolah formal. Dari pengamatan penulis dilapangan, banyak dari santri-santri yang melaundrykan ini berpendapat bahwa sangat tidak relevan bila kegiatan-kegiatan mereka tertunda hanya karena urusan pakaian kotor.
Ketiga, santri-santri yang menggunakan jasa laundry, pada umumnya datang dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Bukan masalah bagi mereka untuk menyisihkan Rp 12.500-50.000,00 dalam sebulan untuk biaya laundry.
Namun, bagaimana dari kacamata santri mengapa mereka memilih menggunakan jasa laundry dalam kesehariannya? Ternyata hal yang melatar belakangi bukan hanya masalah kepraktisan dan kondisi ekonomi saja, melainkan sebuah gengsi yang berkaitan erat dengan pengakuan dan status seorang santri dalam pergaulannya. Disinilah globalisasi telah merubah nilai sosial dan budaya dalam kehidupan pesantren.
Di awal sudah dikatakan bahwa dikalangan santri terdapat fenomena persaingan dalam pergaulan sesama santri. Persaingan ini hadir bukan begitu saja, melainkan sebuah insting yang hadir dibawah alam sadar mereka seperti perasaan selalu ingin diakui baik status historis maupun status ekonomi. Hal ini terjadi pada santri dengan status pelajar dimana kondisi emosionalnya masih labil. Pada awalnya santri yang melaundrykan pakaian mereka bila memang kondisi mereka tidak memungkinkan untuk memcuci baju mereka sendiri dengan alasan berbagai kesibukan yang ada. namun seiring dengan berjalannya waktu, justru santri me-laundry-kan pakaian mereka karena mereka enggan menuci baju mereka sendiri. Mungkin karena pekerjaan mencuci baju sudah dianggap tidak populer lagi dikalangan santri. Disamping itu ketika seorang santri diketahui oleh teman-temannya melaundrykan pakaian, ada anggapan santri tersebut keren, kaya, dan sibuk disamping malas. Namun perspektif keren dan kaya ini ternyata lebih dominan ketimbang perspektif malas. Selalu ada anggapan ‘kalau dia bisa melaundrykan kenapa saya tidak?’ yang mampir dibenak santri-santri berusia remaja. Hal ini bisa disebabkan banyak santri yang masuk berasal dari golongan kaya yang notabene selalu bersikap mewah, tidak mandiri, dan individualis. Mereka umumnya datang dari keluarga yang tidak mengajarkan kemandirian sebelum berangkat ke pesantren. Sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengurus diri mereka sendiri saat masuk ke pesantren, dengan kehadiran laundry seakan menjadi jalan keluar bagi mereka.
Kontak hubungan yang lama antara santri yang kian konsumtif menggunakan laundry, menjadikannya timbul sebuah hubungan yang saling membutuhkan, yaitu : ketergantungan. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana perspektif santri kaitannya laundry dengan fiqih mengingat pada umumnya fiqih menjadi prioritas utama yang diajarkan pesantren? Seperti masalah kesucian pada baju atau peralatan sholat yang mereka pecayakan pada laundry.
“Saya kira, baju yang saya laundrykan itu baju-baju yang kotor karena debu, atau katakanlah cipratan air dijalan, jadi cukup dibilas saja. Bukan najis yang harus diberlakukan khusus.”[1] Penuturan Fz mewakili pandangan santri-santri Krapyak yang kerapkali menggunakan jasa laundry. Kebanyakan santri tidak begitu mempermasalahkan masalah sesuci, karena mereka beranggapan bahwa baju mereka hanya kotor yang setara hukumnya dengan mutawasithoh (level sedang)[2]. Berbeda dengan najis mughalladhoh yang harus mendapat perlakuan yang berbeda ketika mencucinya. Sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya pakaian mereka pada pihak pengelola tanpa harus memastikan prosedurnya.
Dari pengamatan penulis dilapangan, hanya dua laundry yang dikelola intern pesantren dan satu laundry yang dikelola oleh masyarakat disekitar laundry dari empat belas outlet yang ada. Penekanan masalah kesucian ini biasanya dilakukan kali pertama ketika mereka mendapat order laundry. Seperti menanyakan apakah adakah baju yang diberlakukan berbeda karena masalah najis(penyebab kotor) pada pakaian mereka. Kemudian pakaian kotor tersebut akan dibilas terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk ke dalam mesin cuci. Terakhir mereka melakukan pembilasan dengan cara mengalirkan air selama proses pencucian pada sesi terakhir.
Para santri yang cukup acuh tak acuh pada masalah kesucian bertolak belakang pada keseharian mereka yang mendapat materi fiqih. Hal ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada santri. Dari pengalaman penulis yang pernah tinggal di pesantren, selama ini materi yang disampaikan hanya mengacu pada pertanyaan dari sisi ‘apa’ dan guna ‘memiliki’ ilmu-ilmu yang diajarkan kepada santri. Dalam praktiknya, metode ini lebih menekankan cara menghafal tanpa disertai sikap kritis. Metode dialog (dikalangan pesantren kerap kali dinamakan bahtsul masail) yang seharusnya mengembangkan bukan saja pertanyaan dari segi ‘apa’ dan ‘memiliki’, tapi juga pertanyaan dan pemahaman tentang ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ dirasa sangat kurang. Sehingga dengan dialog begitu santri akan memandang ilmu bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dimiliki sebagaimana adanya, tetapi juga memaknainya sebagai sesuatu yang harus dikembangkan dan dapat sejalan dengan perkembangan teknologi. Selayaknya santri tidak hanya diposisikan sebagai subyek pasif, tetapi harus diperlakukan sebagai subyek yang aktif-kritis.
Disamping itu, tidak semua santri yang datang ke pesantren ini memiliki latar belakang agama yang sama, tidak jarang mereka datang dari keluarga yang benar-benar polos pengetahuan agamanya, bahkan kemampuan mengkaji kitabnya masih rendah karena kendala bahasa yang belum memadai. Sedangkan pesantren pada umumnya memperlakukan semua santrinya dengan sama. Sehingga tak jarang santri-santri yang masih rendah kemampuannya harus mengejar ketinggalan mereka dengan terseret-seret. Hal ini berpotensi multitafsir dalam memaknai materi dikalangan santri.
Hal ini sangat disayangkan karena perkembangan pesantren kearah yang modern ini pesantren justru seperti kehilangan ruh, nilai dan jiwa kesantriannya. Selama ini wacana modernisasi di pesantren hanya berputar dimalasalah ideologi yang berupa teori, ketika masuk ke masalah ubudiyah yang banyak menyangkut masalah fiqih tidak jarang mereka yang beranggapan dirinya modern justru kembali menjadi tradisional. Ini membuktikan bahwa masih ada dikotomi ilmu dimana ilmu fiqih hanya berkutat dimasalah ubudiyah semata yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah kehidupan sehari-hari. Masalah ubudiyah yang jauh hubungannya dengan modernisasi. Belum ada fiqih sosial yang bisa menerjemahkan masalah perkembangan zaman yang erat kaitannya dengan teknologi dan modernisasi yang sudah banyak merubah tatanan nilai sosial dan budaya. Hanya sedikit kalangan pesantren yang bisa menerima modernisasi disegala bidang, sehingga tak jarang lulusan dari pesantren masih berkepribadian dengan moral yang jauh dari harapan. Kumpulan santri yang mempunyai sifat sama seperti berlaku mewah, individualistik dan materialistik ini kemudian sedikit banyak menggerus jiwa kesederhanaan, dan kemandirian pondok. Sedikit demi sedikit filosofi ‘santri’ mulai menghilang. Berkurangnya charisma kyai/ pemimpin pesantren dimata santri dan masyarakat seperti karena keterlibatan beberapa kyai dengan dunia politik, menjadi salah satu penyebab modernisasi di pesantren menjadi tidak terkendali.
Laundry Sebagai Bisnis Alternatif Pesantren(?)
Udara panas siang hari tidak mengurangi semangat kerjanya. Di sudut ruangan berukuran 4X5 meter ini telah menumpuk sejumlah pakaian kotor dari para pelanggan. Sambil menunggu putaran dari mesin cuci yang berada di sisi lain ruangan ini berhenti, wanita berusia 25 tahun ini tidak lantas berdiam diri saja. Ia menyambi waktu luang yang ada dengan menyetrika setumpuk pakaian bersih yang sudah kering. Beberapa diantaranya adalah pesanan kilat yang akan diambil beberapa jam lagi oleh pelanggannya. Hn, nama wanita ini, mengaku sudah 6 bulan menekuni pekerjaannya sebagai pengelola jasa laundry di daerah Krapyak, dari ceritanya, usaha ini sudah berganti-ganti pemilik hingga 2 kali sebelum dirinya memutuskan untuk mengambil alih usaha ini.
“saya mah, tertarik usaha laundry soalnya modalnya gampang. Sudah itu, gak berat dipikiran, respon masyarakat juga bagus. Apalagi disini kan daerah pondok, jadi lumayan menjanjikan juga.” Begitulah penuturan Hn ditengah kesibukannya.
Merebaknya usaha laundry saat ini, bukan hanya dilatar belakangi oleh santri yang dinilai semakin dinamis saja, melainkan dari kaca mata ekonomi, laundry sebagai industri informal yang mulai dilirik banyak pihak. Dari wawancara yang dilakukan penulis terhadap 5 outlet laundry didaerah Krapyak, rata-rata keuntungan bersih yang diambil dari bisnis usaha laundry ini adalah minimal 20%. Bila dikalkulasikan, setiap hari mereka menerima order laundry rata-rata adalah 30 Kg X Rp 3.000 (harga standar yang beredar kebanyakan) = Rp 90.000 X 30 hari = Rp 2.700.000 X 20% = Rp 540.000, maka keuntungan bersih perbulan minimal berkisar Rp 540.000, membuat banyak orang yang melirik celah bisnis ini.
Di awal sudah dijelaskan bahwa dari empat belas outlet laundry yang beropeasi di Krapayak, dua outlet dikelola secara intern oleh pesangasuh pesantren. Bahkan ada satu outlet yang dikelola mandiri oleh santri tanpa ada campur tangan dari pihak pesantren. Ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama saja, melainkan pusat pergerakan ekonomi bagi baik pesantren itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang memanfaatkan kehadiran santri-santri yang jauh dari rumah sebagai ladang usahanya. Mulai dari penyediaan keperluan sehari-hari santri, makan, hingga kebutuhan gaya hidup santri seperti counter pulsa, rental, outlet baju, dan laundry.
Mulanya banyak pesantren yang tidak melihat ini sebagai celah bisnis. Namun seiring dengan perkembangan zaman ketika pesantren modern mulai menerima campur tangan dari pemerintah melalui program pemberdayaan santri dan pengembangan pesantren, bidang perekonomian pesantren mulai menjadi fokus utama karena berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur pesantren. Mengingat tidak selamanya pesantren mengandalkan bantuan pemerintah atau sumbangan dari santri yang tidak bisa dipastikan, banyak pengasuh pesantren yang mulai membuka berbagai macam usaha sebagai media pengumpul pundi-pundi pembangunan, seperti : kopontren, kantin santri, toko kitab, hingga laundry. Bisa dipastikan perputaran uang yang terjadi berputar antara santri, pesantren, pondok, dan santri.
Ada empat macam kemungkinan pola usaha pemberdayaan ekonomi yang terjadi di lingkungan pesantren ini, perekonomian yang berpusat pada kiai, perekonomian untuk memperkuat biaya operasional pesantren, perekonomian sebagai pemberdayaan santri, perekonomian mandiri yang dibentuk oleh alumni santri[3]. Dari kasus yang terjadi di Krapyak, pola perekonomian yang terjadi lebih berpusat pada upaya memperkuat biaya operasional pesantren dan pemberdayaan santri.
Alasan mengapa pola perekonomian ini berpusat pada upaya memperkuat biaya operasional pesantren adalah tidak semua santri membayar biaya hidup di pesantren tepat pada waktunya. Menurut penuturan pembimbing dikomplek 3 pesantren A yang mengatakan bahwa tak jarang pemasukan dari santri tidak sesuai dengan pengeluaran untuk biaya operasional pesantren. Banyak santri baik sengaja maupun tidak sengaja menunggak living cost pesantren hingga berbulan-bulan. Hal inilah yang membuat dari pihak pengasuh berupaya untuk menutupi kekurangan biaya operasional ini dengan cara membuka berbagai usaha yang dinilai strategis dan laku keras. Begitu pula dengan alasan pemberdayaan santri, pengasuh menilai bahwa tidak semuanya santri yang tinggal dipesantren akan menjadi ulama keseluruhannya. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai santri dimata masyarakat, santri dibekali berbagai keterampilan dengan harapan santri tersebut mampu survive setelah lulus.
Sayangnya, dibalik keberhasilan pesantren dalam upaya modernisasi, ada satu wilayah yang selama ini tidak pernah tersentuh ke permukaan dan nyaris dilupakan. Motor penggerak dalam modernisasi yang selama ini luput dari pembicaraan karena posisinya yang dilematis dan dianggap tidak penting oleh kebanyakan orang. Bila pesantren menjadi penggerak ekonomi masyarakat sekitar, batur adalah penggerak ekonomi intern pesantren. Para batur, yang selama ini secara tidak langsung berjasa dalam menggerakan ekonomi pesantren dilapangan.
Batur (beberapa menyebutnya, khadim, tiyang ndalem) adalah orang kepercayaan pengasuh pesantren yang dipekerjakan secara khusus. Fenomena batur banyak terjadi dipesantren jawa dan entah sejak kapan keberadaanya mulai ada dalam dunia pesantren.Kedudukannya abstrak, karena disatu sisi ia berstatus sebagai orang yang dipekerjakan entah itu pekerjaan rumah seperti masak, membersihkan rumah pengasuh, melayani tamu, dll; namun ia bukan buruh yang mendapatkan upah dari hasil keringatnya apalagi tunjangan lembur mengingat batur ini tidak memiliki jam kerja yang pasti dan bisa diprediksikan. Di sisi lain ia berstatus santri yang juga mengikuti kegiatan pesantren. Hanya saja, ia memiliki kedudukan yang cukup diistimewakan, karena tak jarang ia tidak diberlakukan peraturan-peraturan pesantren yang ada. Seperti membayar biaya hidup, mengikuti kegiatan santri sepenuhnya, hingga penempatan kamar yang tidak dibaurkan dengan santri yang lain. seringkali batur ini disekolahkan formal secara Cuma-cum oleh pengasuh.
Tidak semua orang bisa menjadi batur, karena sifatnya yang menjadi tangan kanan pengasuh/kyai, santri-santri yang terpilih menjadi batur biasanya cukup disegani oleh santri-santri lainnya. Kebanyakan santri yang menjadi batur ini datang dari keluarga miskin, golongan menengah kebawah, atau proletar. Walau tidak menutup kemungkinan ada juga batur yang justru datang dari keluarga berada bahkan keturunan kyai dengan alasan ngalap barokah dari kyai yang dianggap kharismatik. Dalam kesehariannya, batur ini disamping menjadi ‘buruh’ tanpa bayaran, batur ini juga berperan sebagai penggerak perekonomian pesantren dilapangan. tidak jarang para batur inilah yang dipercayakan kyai untuk mengelola keuangan santri hingga mengurus bisnis kyai. Hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat tidak semua santri mampu mengelola bisnis pesantren yang ada.
Kasus yang terjadi di krapyak, pesantren A di komplek 1 terdapat sebelas orang batur yang terdiri atas enam wanita dan lima pria. Enam wanita dan satu pria ini berstatus batur tetap dan khusus dipekerjakan di komplek 1, sedangkan sisanya adalah batur yang dipekerjakan secara umum dipesantren A. Batur di komplek 1 ini memiliki usia dan pendidikan yang bervariatif hingga saat ini, mulai dari yang sekolah formal hingga murni santri di pesantren, mulai dari Tsanawiyah hingga strata satu. Semua biaya hidup hingga sekolah formal statusnya ditanggung sepenuhnya oleh pengasuh/kyai.
Masing-masing memiliki wilayah kerja masing-masing sesuai dengan kapasitas batur. Tidak hanya masalah rumah tangga kyai yang menjadi tanggung jawab mereka, melainkan mereka inilah yang sekaligus menjadi pegawai dibisnis pesantren. Sebut saja S, sehari-hari ialah yang mengurusi masalah pakaian kotor keluarga kyai selain membantu memasakkan makanan untuk santri di komplek 1. Disamping itu, ia pulalah yang dipercayakan kyai untuk mengelola laundry pesantren di komplek 1. Dalam sebulan, ia mendapatkan penghasilan bersih + Rp 400.000,00 dari laundry, uang ini kemudian ia setorkan sepenuhnya kepada kyai. Diwaktu senggang adakalanya ia menjual gorengan kepada santri dikomplek 1 dan 3. Sama halnya dengan laundry, hasil dari penjualan gorengan ini ia setorkan sepenuhnya kepada kyai, ia tidak mendapatkan sepeserpun uang dari bisnis laundry ini. sebagai gantinya ia mendapatkan uang jajan sebesar Rp 120.000 perbulan. Di luar itu ia hanya mendapatkan jatah baju dari kyai sebesar Rp 75.000,00 diakhir tahun. Kita tentu akan berpendapat bahwa hal ini tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh S. Apalagi, diluar pesantren ia tercatat sebagai salah satu mahasiswa UIN sunan kalijaga semester tiga. Kita akan bertanya, bagaimana ia bisa mencukupi kebutuhan operasional kuliahnya. Itulah alasannya ia membuka usaha counter elektronik yang dijual kepada santri komplek 1.
Begitu pula dengan N, sama halnya dengan S ia pun berstatus batur dikomplek 1. Sehari-hari ia bertanggung jawab mengelola keuangan santri. Ia mencatat pemasukan dan membelanjakan biaya opeasional pesantren seperti, belanja makan santri sehari-hari, membayar listrik, dll. Ia pun dipercaya untuk memasak makanan untuk santri komplek 1, dua kali sehari dibantu S dan ke empat temannya yang lain, belum lagi ia juga mengasuh cucu dari kyai yang masih belita. Di akhir bulan ia mendapatkan uang jajan (karena dianggap tidak layak bila dikatakan sebagai gaji) sebesar Rp 200.000.
Batur sebagai tulang punggung penggerak ekonomi dan operasional pesantren, selama ini kurang mendapatkan perhatian yang selayaknya dari pengasuh/kyai. Walaupun statusnya ia dibebaskan dari biaya hidup tinggal di pesantren, namun hal ini tidak sebanding dengan pekerjaan yang ia lakukan kesehariannya. Selain jam kerja yang tidak jelas, ia pun tidak memiliki hari libur bahkan cuti untuk sekedar pulang diakhir bulan. Belum lagi pekerjaan yang menumpuk dan tanggungan mengelola bisnis pesantren tak jarang membuat batur ini tidak sempat mengenyam pendidikan selama tinggal dipesantren walau sebetulnya ia berstatus santri.
Mungkin nasib S dan N, masih sedikit beruntung. Karena banyak kasus yang terjadi dibeberapa pesantren, batur-batur ini tidak mendapatkan apapun selain makan dan tinggal dipesantren yang bersangkutan. Belum lagi terkadang ada perlakuan yang kurang menyenangkan pada batur datang dari pihak santri yang tak jarang mendiskriminasi kehadiran batur. Mengapa hal ini ini bisa terjadi? Tak lain karena ada stigma pakeweuh antara batur dengan pengasuh/kyai. Batur tidak mempunyai hak untuk menuntut karena dianggap sukarela, sedangkan pengasuh/kyai berhak mempekerjakannya karena sudah diijinkan untuk tinggal dan makan secara cuma-cuma. Disamping itu, batur dianggap tidak sopan terlalu sering pulang atau mengambil cuti. Padahal batur ini bisa dikatakan setingkat dengan pembantu rumah tangga yang harus diapresiasikan minimal dengan upah yang layak.
Bisa dikatakan bahwa batur adalah salah satu bagian dari modernisasi pesantren yang belum mendapat perhatian yang layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar